KETIKA berbicara tentang pariwisata, kita sering membayangkan pengalaman yang memanjakan indera: keindahan alam yang memesona, keramahan masyarakat lokal, dan fasilitas yang membuat setiap momen terasa sempurna. Namun, di balik keindahan yang tampak, ada realita yang tak jarang membuat wisatawan mengeluh: pengelolaan destinasi wisata yang jauh dari kata ideal. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah kita benar-benar memahami esensi pariwisata berkelanjutan?
Pariwisata berkelanjutan, dalam pengertiannya, adalah upaya menjaga keseimbangan antara kebutuhan wisatawan, pelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat lokal. Sebuah konsep yang ideal, tetapi sering kali sulit diwujudkan. Di banyak destinasi wisata, kita menemukan kenyataan pahit: objek wisata yang dikelola serampangan, fasilitas yang minim, dan biaya tinggi yang dibebankan kepada pengunjung tanpa imbal balik yang sepadan.
Sebagai contoh, beberapa destinasi alam yang populer di Indonesia mengalami eksploitasi tanpa arah yang jelas. Sampah menumpuk di sudut-sudut area wisata, akses jalan yang rusak menjadi penghalang, dan fasilitas umum seperti toilet atau tempat istirahat jauh dari standar. Meski demikian, pengunjung tetap dikenakan biaya masuk yang tidak murah, bahkan sering kali ada biaya tambahan untuk parkir atau penggunaan fasilitas dasar. Ironisnya, biaya-biaya tersebut jarang berkontribusi pada perbaikan infrastruktur atau pelestarian lingkungan.
Dampaknya jelas terasa. Wisatawan yang merasa tidak mendapatkan pengalaman yang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan enggan untuk kembali. Mereka mungkin akan berbagi pengalaman buruk mereka melalui media sosial atau ulasan daring, yang pada akhirnya merusak citra destinasi tersebut. Di sisi lain, masyarakat lokal yang bergantung pada sektor pariwisata sebagai sumber penghidupan justru terkena dampak negatifnya. Pendapatan mereka menurun karena jumlah wisatawan berkurang, sementara lingkungan sekitar mereka terus mengalami kerusakan.
Lalu, di mana letak solusi dari permasalahan ini? Pariwisata berkelanjutan bukanlah sekadar jargon, tetapi harus diwujudkan melalui langkah nyata. Pengelola destinasi wisata, baik pemerintah maupun swasta, perlu memprioritaskan investasi dalam infrastruktur dan pelestarian lingkungan. Masyarakat lokal harus dilibatkan secara aktif, baik dalam pengelolaan objek wisata maupun dalam pengambilan keputusan. Mereka adalah penjaga utama dari keunikan budaya dan keindahan alam yang menjadi daya tarik utama pariwisata.
Selain itu, transparansi dalam pengelolaan dana juga menjadi kunci. Jika pengunjung dikenakan biaya tinggi, maka mereka berhak mengetahui bagaimana dana tersebut digunakan untuk meningkatkan fasilitas atau melestarikan lingkungan. Dengan demikian, mereka akan merasa bahwa uang yang mereka keluarkan sebanding dengan pengalaman yang mereka dapatkan.
Inspirasi dapat diambil dari beberapa destinasi yang berhasil menerapkan prinsip pariwisata berkelanjutan. Sebut saja desa wisata di Yogyakarta yang melibatkan masyarakat lokal dalam setiap aspek pengelolaannya, dari homestay hingga paket tur. Wisatawan tidak hanya menikmati keindahan alam dan budaya, tetapi juga merasakan langsung kehangatan masyarakat setempat. Biaya yang mereka keluarkan pun terasa layak karena fasilitas yang disediakan memadai dan lingkungan tetap terjaga.
Pariwisata adalah potensi besar yang dimiliki Indonesia, tetapi juga tanggung jawab besar. Keindahan alam dan kekayaan budaya yang kita miliki bukanlah warisan yang tak terbatas. Jika tidak dikelola dengan bijak, kita hanya akan meninggalkan kerusakan bagi generasi mendatang. Mari menjadikan pariwisata berkelanjutan bukan hanya sebagai impian, tetapi sebagai realita yang nyata dirasakan oleh semua pihak: wisatawan, masyarakat lokal, dan lingkungan itu sendiri. *